Ensiklik “Fratelli tutti”
Pada tanggal, 3 Oktober 2020 Paus Fransiskus menandatangi Ensiklik “Fratelli Tutti” di Assisi, tempat kelahiran dan hidup St. Fransiskus dari Assisi. Hari berikutnya, 4 Oktober, ensiklik tersebut dipublikasikan. Berikut ini merupakan saduran dari ringkasan yang dibuat oleh Isabella Piro dalam website www.vaticannews.va
Ensiklik ini bertujuan untuk mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial. Pandemi Covid-19 menjadi latar belakang ensiklik ini. Kedaruratan kesehatan global telah membantu menunjukkan bahwa “tak seorangpun bisa menghadapi hidup sendirian” dan bahwa waktunya sungguh-sungguh telah tiba akan “mimpi sebagai satu keluarga umat manusia” di mana kita adalah “saudara dan saudari semua”.
Bab I: Awan-awan gelap yang meliputi dunia.
Dalam bab ini direfleksikan banyak penyimpangan jaman ini: manipulasi dan deformasi konsep-konsep demokrasi, kebebasan, keadilan; hilangnya makna komunitas sosial dan sejarah; cinta diri dan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan bersama; meningkatnya logika pasar yang didasarkan pada keuntungan dan budaya membuang; pengangguran, rasisme, kemiskinan; ketidaksamaan hak dan akibat-akibatnya seperti perbudakan, perdagangan manusia, dsb. Paus menekankan bahwa masalah-masalah global ini membutuhkan tindakan-tindakan global. Diingatkan pula bahaya “tembok-tembok budaya” yang menyuburkan kejahatan teroganisir, yang disulut oleh ketakutan dan kesendirian.
Bab II: Orang-orang asing di jalan.
Ensiklik ini ingin menanggapi banyak bayang-bayang gelap itu dengan contoh cemerlang, bentara harapan: Orang Samaria yang baik hati. Bab II menyoroti figur ini. Dalam masyarakat yang tidak sehat ini kita dipanggil, seperti orang Samaria yang baik itu, untuk menjadi sesama bagi yang orang-orang lain. Kita bertanggung jawab bersama menciptakan masyarakat yang bisa menerima, mengintegrasikan dan mengangkat mereka yang telah jatuh atau menderita. Kasih membangun jembatan dan “kita diciptakan untuk mencintai”.
Bab III: Visi dari dunia yang terbuka.
Dalam bab ini Paus mendorong kita untuk pergi “’keluar’ diri sendiri” untuk menemukan “eksistensi lebih penuh dalam diri orang lain”, dengan membuka diri terhadap yang lain sesuai dengan dinamika cinta kasih yang membuat kita terarah kepada “kepenuhan universal”. Hidup rohani seseorang diukur dengan cinta kasih, yang selalu “menempati tempat pertama” dan menuntun kita untuk mencari apa yang lebih baik bagi hidup orang lain, jauh dari cinta diri. Rasa solidaritas dan persaudaraan dimulai dalam keluarga, yang harus dijaga dan dihormati perutusan pertama dan utama mereka dalam pendidikan.
Semua orang berhak untuk hidup secara bermartabat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan. Bapa Paus meminta kita untuk mempertimbangkan “etika hubungan-hubungan international”, karena setiap negara juga milik dari orang-orang asing dan kemakmuran suatu wilayah tidak bisa dielakkan bagi mereka yang membutuhkan dan datang dari tempat lain.
Bab IV: hati terbuka kepada dunia
Bab ini berbicara tentang migrasi. Para migran hidup dalam keadaan bahaya, baik peperangan, penganiayaan, bencana alam, dsb. Mereka harus diterima, dilindungi, didukung. Memang migrasi yang tidak perlu hendaknya dihindari, dengan menciptakan kesempatan-kesempatan hidup di negara asal. Namun sekaligus kita perlu menghormati hak untuk mencari kehidupan yang lebih baik di manapun.
Bab V: politik yang lebih baik.
Politik yang lebih baik merupakan salah satu bentuk amat berharga dari karya kasih, karena melayani kesejahteraan bersama dan mengakui pentingnya orang-orang. Politik memberi ruang untuk diskusi dan dialog. Politik yang lebih baik juga yang melindungi pekerjaan, sebagai “dimensi hakiki hidup sosial”. Tugas politik adalah untuk menemukan solusi bagi semua yang menyerang hak-hak asasi manusia, seperti penolakan sosial; perdagangan organ-organ tubuh, senjata, narkoba; ekploitasi seksua; perbudakan, terorisme dan kejahatan terorganisir. Paus menyerukan untuk secara definitif menghapuskan perdangangan manusia, yang merupakan “sumber yang memalukan bagi umat manusia” , dan kelaparan, yang merupakan “kriminal” karena makanan adalah “hak yang harus ada”. Politik juga harus berpusat pada martabat manusia dan tidak tunduk pada ekonomi.
Harapan lain juga disampaikan berkaitan dengan reformasi PBB: dalam menghadapi dominasi dimensi ekonomi. PBB diharapkan menjadi “keluarga bangsa-bangsa” yang bekerja untuk kesejahteraan umum, pengentasan kemiskinan dan perlindungan hak-hak manusia.
Bab VI: dialog dan persahabatan
Hidup merupakan “seni perjumpaan” dengan setiap orang, bahkan dengan orang-orang di pinggiran dunia dan dengan bangsa-bangsa asli, karena “masing-masing dari kita bisa belajar sesuatu dari yang lain. Tak seorangpun tidak berguna dan tak seorangpun bisa disingkirkan”. Paus memberi catatan khusus tentang mukjizat “kebaikan hati”, suatu sikap untuk dipulihkan kembali karena merupakan bintang “yang bersinar di tengah-tengah kegelapan” dan “membebaskan kita dari kekejian…kecemasan…keramaian yang gila-gilaan” yang menonjol di era sekarang ini.
Bab VII: perjumpaan yang dibarui
Dalam bab ini direfleksikan tentang nila dan promosi tentang perdamaian. Paus menggarisbawahi bahwa perdamaian berkaitan dengan kebenaran, keadilan dan belas kasih. Perdamaian adalah “seni” yang melibatkan setiap orang dan masing-masing harus melakukan bagiannya masing-masing dalam “tugas tanpa akhir”. Pengampunan terkait dengan perdamaian: kita harus mencintasi setiap orang, tanpa kecuali, namun mencintai seorang penindas berarti membantu dia untuk berubah dan tidak membiarkan dia terus menindas sesamanya.
Bagian dari bab ini berbicara khusus tentang perang, sebagai perwujudan dari “penolakan semua hak”, “kegagalan politik dan kemanusiaan”, dan “kekalahan yang memedihkan di hadapan kekuatan-kekuatan kejahatan”. Penghapusan senjata nuklir adalah “perintah moral dan kemanusiaan”.
Paus juga menegaskan dengan jelas sikapnya terhadap hukuman mati: tidak bisa diterima dan harus dihapuskan di seluruh dunia. Bahkan seorang pembunuh tidak kehilangan martabat pribadinya, “dan Allah sendiri berjanji menjamin ini”. Harus ditekankan perlunya menghormati “kesucian hidup” di mana sekarang “beberapa bagian dari keluarga manusia kita, nampaknya, bisa dengan mudah dikorbankan”, seperti bayi yang belum lahir, orang miskin, orang cacat dan orang-orang lanjut usia.
Bab VIII: Agama dan persaudaraan
Dalam bab ini ditekankan bahwa agama-agama itu melayani persaudaraan di dunia kita dan bahwa terorisme bukan disebabkan oleh agama namun oleh penafsiran salah terhadap teks-teks agama, seperti halnya “kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan”. Perdamaian di antara agama-agama adalah mungkin dan oleh karena itu perlulah menjamin kebebasan beragama, hak asasi dasar manusia bagi semua umat beriman.
Ensiklik secara khusus merefleksikan tentang Gereja: Gereja tidak “membatasi misinya pada ranah privat”. Sementara tidak mengikatkan diri dalam politik, namun Gereja tidak meninggalkan dimensi politik dari hidupnya sendiri, perhatian kepada kesejahteraan umum dan peduli pada perkembangan manusiawi yang integral, sesuai dengan prinsip-prinsip Injil.
Pada akhirnya, Paus Fransiskus mengutip “Dokumen tentang Persaudaraan Manusiawi bagi Kedamaian Dunia dan Hidup Bersama”, yang ditanda tangani 4 Februari 2019 di Abu Dhabi: dari tonggak dasar dialog antar agama, Bapa Paus kembali menyerukan bahwa, atas naman persaudaraan manusiawi, dialog diambil sebagai suatu jalan, kerjasama bersama sebagai perintah, dan pemahaman satu sama lain sebagai metode dan ukuran.
Dokumen dalam berbagai bahasa bisa di-download di http://www.vatican.va/content/francesco/en/encyclicals/documents/papa-francesco_20201003_enciclica-fratelli-tutti.html
Terjemahan dalam bahasa Indonesia sedang dikerjakan oleh Dokpen KWI.